Senin, 13 Mei 2013

Anggrek Buruk Rupa

Disanalah dia, sebatang tangkai kurus yang miring ke kiri tampak di sebuah pot tembikar polos. Aku memandanginya lebih dekat. Beberapa kelopak kecil berwarna cokelat bergantung dengan lunglai pada tanaman yang tak menarik ini. Aku bingung. Inikah hadiah istimewa yang dikirimkan oleh putri dan menantuku jauh-jauh dari tempat tinggal mereka yang baru di Hanoi?
 
Aku mengangkat telepon dan memutuskan untuk tidak menyebutkan bahwa tanaman baruku tampak menyedihkan, sama seperti yang tengah kurasakan.
Katie amat bersemangat, “Sekarang, untuk sementara waktu mom harus menaruhnya di tempat yang gelap dan sejuk.”

Tak ada masalah mengenai hal itu. Tanaman ini tak hanya tak sedap dipandang mata, tapi juga mengingatkanku pada hal-hal yang hilang : makan malam bersama keluarga, menunggu bus sekolah, bahkan menolong pekerjaan rumah. Ketika suamiku meninggal beberapa tahun lalu, aku langsung mengubah diri dari Mrs.Jim Ennis menjadi “Nenek Sara dan Michael”. Tanaman dengan tangkai yang gundul ini mengingatkanku pada keadaanku sekarang : seorang janda, ibu dan nenek yang tak dipelihara siapa-siapa. Sungguh tak adil.

Plung! Kusimpan hadiahku di atas meja rongsokan di ruang bawah tanah, lalu kumatikan lampu ruangan itu.

Enam minggu kemudian aku membawa beberapa kotak ke ruang bawah tanah.

Disana, tampak tanaman berbunga paling indah yang pernah kulihat! Helai-helai berwarna putih dengan lembut menghiasi sekeliling bagian tengahnya yang berwarna merah. Aku mengulurkan jariku, namun ragu untuk menyentuhnya. Bunga-bunga yang yang mekar itu tampak rapuh, namun begitu hidup. Mereka seolah-olah akan terbang.

Aku merangkak kembali menaiki anak tangga, menimang pot dilenganku dan berusaha keras tidak bernafas ke bunga-bunga itu. Enam minggu menyepi di ruang bawah tanahlah yang diperlukan oleh tanaman ini!

Mendadak aku terenyak. Sesuatu yang tadinya tampak begitu buruk dan tak berguna beberapa minggu sebelumnya, kini memamerkan dirinya bak harta karun.
Dan hal itu amatlah berharga! Dari stan rotannya anggrek cantikku berkilau. Petugas pos dan orang-orang yang jarang kutegur kini melambai bahkan naik keatas beranda dan memberi komentar untuk anggrek menawan ini.

“Enam minggu lalu bunga ini nyaris tak hidup..”, aku seringkali menjawab saat aku menyodorkan teh dan kue marmalade jeruk yang kubuat lagi setelah lewat tiga tahun. Setiap hari anggrekku memekarkan bunga baru dan aku memperbaharui persahabatan lama dan menjalin persahabatan baru.

Suatu pagi Katie menelepon. Ted telah menerima sebuah pekerjaan d perguruan tinggi yang tak jauh dari tempatku. Mereka akan pulang!

Kini akulah yang berbunga-bunga. Hidupku yang tadinya kosong kini diisi dengan suka dan persahabatan. Setiap hari bagaikan kuncup yang berharga menanti untuk mekar. Waktu tana keluargaku memang seolah-olah hal yang buruk dan sia-sia, namun tanpa itu apakah aku akan pernah memulai untuk hidup lagi?

Penilaianku atas anggrek buruk rupa salah dan aku juga telah keliru menilai driku sendiri. Aku bukanlah tidak berguna dan jelek. Aku lebih dari itu! Aku berpikir dengan penuh syukur. Yang kuperlukan adalah waktu sendirian di dalam gelap untuk mengenali potensiku yang hakiki.
Suatu pagi, aku menjangkau sapu dan berjalan menuju beranda. Bunga-bunga anggrek kering berserakan di lantai. Anggrekku kini sama gundulnya seperti di hari dia tiba! Aku masih menyapu ketika sala seorang teman baruku mampir dengan sebuah undangan untuk bergabung dengan klub berkebunnya.

“Oh sayang sekali, sungguh menyedihkan!”, dia berseru saat melihat tangkai yang gundul.

“Anggrek ini akan membaik,” kataku. “Kau harus melihat aku enam minggu lagi!”



Shelah Brewer Ogletree

Tidak ada komentar:

Posting Komentar